Wednesday, September 20, 2017

Peluang kekeringan di Indonesia

Beberapa waktu terakhir ini media massa baik cetak maupun elektronik serta medsos banyak memberitakan tentang kekeringan yang melanda beberapa wilayah di tanah air dari ujung barat sampai ujung timur. Keluhan warga di beberapa kabupaten ditanggapi dengan sigap namun di beberapa kabupaten yang lain seolah-olah masyarakat dibiarkan sendiri untuk mengatasi kesulitan hidupnya tersebut. Sebenarnya terdapat 3 jenis kekeringan yakni kekeringan meteorologi, kekeringan hidrologi, dan kekeringan pertanian. Ketiga jenis kekeringan ini saling terkait yang berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Tujuan dari tulisan ini adalah mengulas peluang kejadian kekeringan di tanah air sampai beberapa bulan ke depan sekaligus memberikan alternatif solusi mengatasi hal tersebut.
Macam-macam kekeringan
            Seperti telah disebut di atas terdapat tiga jenis kekeringan. Kekeringan meteorologi adalah kekeringan yang terjadi karena sedikitnya hujan yang sampai ke permukaan bumi karena awan-awan yang terbentuk tidak menghasilkan tetes air yang berukuran sebesar tetes hujan. Perlu diingat bahwa tidak semua awan akan menghasilkan hujan. Awan-awan tertentu saja yang akan menghasilkan hujan seperti nimbostratus, kumulus dan kumulonimbus. Kekeringan kedua yakni kekeringan hidrologi adalah kekeringan yang terjadi akibat gangguan pada siklus hidrologi atau daur air. Dimulai dari penguapan air dari permukaan bumi, pembentukan awan-awan, pembentukan hujan , proses infiltrasi/peresapan air – penguapan – limpasan/run off sampai ke penampungan air seperti sungai, danau, laut dsb kemudian berulang lagi proses di atas. Gangguan pada kedua macam jenis kekeringan tersebut menghasilkan kekeringan ketiga yakni kekeringan pertanian. Akibat tidak adanya hujan dalam kurun waktu yang lama sementara proses penguapan air dari tanah berlangsung terus sehingga terjadi defisit air dalam tanah menyebabkan tanaman di lahan pertanian tidak akan mampu bertahan. Produktivitasnya akan menurun dan bahkan dalam kondisi yang ekstrim menyebabkan tanaman bisa mati. Kondisi ini memicu dampak buruk pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Dapat dengan mudah dibuktikan bahwa pada saat kekeringan terjadi, masyarakat akan mengeluarkan uang lebih untuk mencukupi kebutuhan airnya selain bahwa harga-harga produk pertanian tertentu mengalami peningkatan. Tingkat inflasi akibat kenaikan harga pangan juga akan terpengaruh.
Elemen, kendali dan variasi iklim
Elemen iklim terdiri dari temperatur, tekanan, kelembapan, perawanan, hujan, dan angin. Berbagai faktor fisik dapat menjadi pengontrol/kendali musim. Faktor tersebut adalah radiasi matahari, letak tekanan tinggi semi permanen, topografi, distribusi daratan dan lautan, lintang tempat, jarak bumi – matahari, dan sebagainya. Faktor dari dalam bumi dan luar bumi (astronomi) seperti telah disebut di atas berinteraksi langsung dan tidak langsung pada pembentukan musim di muka bumi. Kombinasi berbagai faktor tersebut yang bekerja pada elemen-elemen iklim akan menghasilkan variasi musim. Gerak semu matahari dari 23,5o LU sampai 23,5oLS sangat mempengaruhi berbagai proses fisis dan dinamis cuaca, musim dan iklim di muka bumi. Istilah cuaca, musim dan iklim lebih banyak dilihat dari panjang waktunya dimana cuaca waktunya singkat, musim waktunya menengah, dan iklim waktunya panjang.
            Sirkulasi udara yang mempengaruhi pembentukan cuaca, musim dan iklim di Indonesia terdapat tiga macam yakni sirkulasi Hadley, Walker dan lokal.  Ketiga pola sirkulasi ini dikendalikan pula oleh kondisi monsoon, ENSO dan Dipole Mode. Ketiga sirkulasi ini berinteraksi sedemikian kompleks dan menghasilkan kondisi musim di Indonesia yang demikian unik yang tidak dijumpai di wilayah lain di muka bumi ini. Interaksi ini juga membentuk jenis curah hujan yang berbeda yakni pola monsoonal, ekuatorial dan lokal atau disebut masing-masing sebagai pola A, B, dan C. Bila curah hujan bulanan digambarkan dalam satu tahun dari bulan Januari sampai dengan Desember menyerupai bentuk huruf U maka pola tersebut disebut sebagai pola monsoonal. Bila menyerupai bentuk M dimana puncak hujan terjadi pada sekitar bulan April dan Oktober maka disebut pola ekuatorial sedangkan bila bentuknya menyerupai huruf U terbalik maka disebut pola lokal. Oleh karena itu maka tidak perlu heran mengapa di daerah X terjadi kekeringan namun di daerah Y mengalami kebanjiran pada waktu yang tidak terpaut jauh. Tipe monsoonal meliputi sebagian Sumatera, seluruh Jawa sampai Nusa Tenggara Timur, selatan Kalimantan, sebagian Sulawesi, dan Papua bagian tengah. Tipe ekuatorial membentang di sekitar wilayah ekuator dan tipe lokal dijumpai di sebagian kecil Sulawesi, sebagian Maluku dan kepala burung Papua.
             Kondisi atmosfer dan laut saat ini
Variasi musim saat ini bisa dilihat dari  kondisi atmosfer dan suhu permukaan laut di perairan Indonesia dan sekitarnya. Indeks AUSMI (Australian Monsoon Index) menunjukkan nilai negatif sehingga bisa diperkirakan bahwa monsoon Australia sedang berlangsung yang menunjukkan kecil kemungkinan musim hujan terjadi. Bisa dipahami mengingat massa udara dari Australia ini tidak banyak membawa uap air yang mengakibatkan peluang pembentukan perawanan hujan berkurang.
El Nino yang di wilayah kita sering diartikan sebagai atau identik dengan kekeringan nampaknya masih enggan muncul menonjol ke permukaan. Wilayah yang biasanya digunakan sebagai patokan untuk menentukan indeks El Nino adalah wilayah Nino 3.4 yang kurang lebih sempit yang dibatasi dengan 5o LU – 5o LS yang membujur sekitar ekuator di tengah-tengah samudra Pasifik. Anomali suhu permukaan laut per tanggal 18 September 2017 memperlihatkan bahwa wilayah Nino 3.4 berada dalam jangkauan anomali -0,5oC dan 0,5oC yang berarti normal. Perairan Indonesia dan sekitarnya relatif hangat namun terlihat bahwa di bagian Tenggara Indonesia, Utara Australia anomali suhu permukaan lautnya negatif. Ini berarti wilayah yang disebut terakhir ini suhu permukaan lautnya lebih rendah dari biasanya yang berpeluang menghambat pembentukan perawanan konvektif. 
Prediksi ENSO (El Nino and Southern Oscillation) oleh lembaga CPC/IRI  AS sampai dengan bulan April 2018 memperlihatkan bahwa peluang kondisi normal terjadi 5-20% lebih besar dibanding kemungkinan terjadi El Nino. Sementara itu peluang La Nina tertinggi hanya mencapai belasan persen. Ini berarti sebenarnya kondisi mendatang kemungkinan biasa-biasa saja. Secara klimatologis peluang normal dari bulan Juni menurun sampai bulan Desember dan kemudian naik kembali sampai bulan April. Sementara itu peluang El Nino dan La Nina hampir sama yakni menguat dari bulan Juli dan mencapai puncaknya sekitar bulan Januari yang kemudian turun kembali sampai bulan Maret. Kondisi ENSO neutral atau kondisi normal musim di Indonesia ditunjukkan oleh anomali suhu permukaan laut di wilayah Nino 3.4 antara -0,5oC dan 0,5oC.
Faktor besar ketiga yang penting untuk dipantau keberadaannya adalah suhu permukaan laut di samudra Hindia ekuator bagian barat dan timur yakni pantai timur Afrika dan pantai barat Sumatera Indonesia. Suatu indeks yang dinamakan Indeks Dipole Mode (IODM) digunakan untuk menggambarkan kondisi tersebut. Bila IODM tersebut positif maka berdampak pada wilayah bagian Barat Indonesia yang cenderung kering daripada biasanya. Bila bernilai negatif maka wilayah Indonesia tersebut lebih banyak hujan. Bila bernilai antara -0,4 sampai 0,4 maka berarti normal. Dari prediksi yang dilakukan oleh 6 badan dunia 80% nya menunjukkan nilai IODM yang netral/normal sedangkan dua lainnya yakni badan meteorologi Kanada dan Inggris meramalkan nilai yang positif. Ini berarti bahwa rata-rata badan meteorologi dunia mengatakan bahwa kondisi saat ini adalah normal.
Secara numerik, IRI juga meramal peluang terjadinya presipitasi global. Salah satu bentuk presipitasi adalah curah hujan. Peluang curah hujan yang berlangsung pada bulan September-Oktober-November 2017 untuk wilayah Indonesia dapat disampaikan sebagai berikut. Wilayah Indonesia berpeluang 40-50% hujan di atas normal. Ini berarti bahwa peluang kondisi di bawah normal sampai normal mendekati 50-60%.
Bila semua ramalan di atas benar maka sebenarnya saat ini kondisi musim di Indonesia adalah dalam kondisi batas-batas kisaran normal. Yang menarik adalah mengapa pada saat kondisi “normal” justru saat ini sebagian wilayah mengalami kekeringan?? Bisa dipahami bahwa wilayah-wilayah yang mengalami pola curah hujan monsoon lah yang banyak terdampak oleh kurangnya hujan. Ini mengingat puncak tidak terjadinya hujan berlangsung pada bulan Juni-Juli-Agustus. Pada wilayah-wilayah dengan pola curah hujan ekutorial dan lokal, hal ini tidak menjadi masalah besar karena puncak curah hujan bulanannya berbeda dengan tipe monsoonal. Jadi adalah wajar bahwa masyarakat yang teriak-teriak kekurangan air adalah masyarakat di pulau Jawa, Madura, Nusa Tenggara dan berbagai daerah yang terletak di selatan ekuator. Keseimbangan/neraca air terganggu akibat kurangnya hujan selama beberapa waktu. Penguapan dari tanah yang terus menerus sementara tidak ada asupan hujan menyebabkan tanah menjadi kering, demikian juga sumber-sumber air akan berkurang debitnya. Jenis kekeringan seperti disinggung di atas akan terjadi.
             Alternatif solusi     
Sejumlah langkah bisa dilakukan untuk mengatasi kekeringan ini, baik yang sifatnya mitigasi maupun adaptasi. Iklim yang selalu bervariasi dan berubah akibat faktor alam maupun manusia harus di rem lajunya agar tidak sampai berpengaruh buruk pada manusia. Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan saudara kandung yang saling terkait. Langkah-langkah mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim ini dapat dijumpai di jutaan website, dari sifatnya yang individual sampai level kebijakan pemerintah suatu negara. Kerjasama internasional dibutuhkan untuk maksud tersebut.
Mengingat jumlah air di bumi tetap namun mungkin berubah-ubah wilayahnya dimana mungkin sebelumnya wilayahnya kurang hujan/kering namun sekarang menjadi banyak hujan/basah atau sebaliknya. Kerusakan lingkungan yang memicu terganggunya siklus air harus diperbaiki. Ini bisa tataran lokal sampai global. Dalam jangka pendek gerakan hemat air harus disosialisasikan. Wilayah pabrik atau pemukiman yang biasa hambur air agar dipaksa untuk berhemat air. Kepedulian sosial harus dibudidayakan. Instansi terkait melakukan manajemen air yang lebih baik agar surplus dan defisit air bisa dikendalikan. Ketika musim hujan, air disimpan dan pada saat musim kemarau dihemat. Dalam jangka panjang harus mendidik masyarakat untuk mencintai lingkungannya karena sekecil apapun yang manusia lakukan, dalam jangka panjang bisa ada imbasnya ke diri manusia di tempat dia atau di lain tempat di muka bumi.
Tidak lupa juga agar masyarakat mendapatkan informasi yang baik terhadap kemungkinan gangguan cuaca, musim, dan iklim yang ekstrim maka early warning system harus dibangun. Salah satunya melalui peningkatan kemampuan prediksi yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti PT (misal ITB), LAPAN, BMKG, dan lembaga penelitian negeri dan swasta.  Alam mempunyai mekanisme sendiri yang sifatnya random dan sulit untuk diprediksi dengan model numerik secanggih apapun. Model numerik saat ini ditambah dengan analisis baru mampu memprediksi dengan ketepatan 80% untuk wilayah kita (klaim BMKG). Itu adalah rata-rata kasar untuk wilayah kita; tentu ada ketepatan prediksinya yang lebih tinggi dan adapula yang lebih rendah. Dengan teknik downscaling, penggunaan model global juga belum mampu menjawab dengan sangat memuaskan keinginan untuk mendapatkan peramalan presisi.  Selalu ada fuzzy dalam fakta tersebut. Teori dan observasi juga belum mampu menghasilkan model peramalan cuaca, musim dan iklim yang presisi 100%. Berbagai teknologi canggih sudah, sedang dan akan terus digunakan dalam memahami perilaku alam. Teknologi penginderaan jarak jauh makin pesat perkembangannya dan mampu mengcover bumi 24 jam sehari. Dengan demikian makin banyak data dan informasi bisa dihasilkan darinya sehingga makin meningkatkan mutu model prediksi dan memperbaiki teori yang sudah ada.

Friday, September 15, 2017

Melek cuaca dan iklim Indonesia bagi generasi muda

Beberapa waktu ini memang kondisi cuaca dan musim agak berbeda dengan biasanya. Kondisi ini perlu dipahamkan kepada masyarakat agar masyarakat melek tentang cuaca dan iklim di wilayah kita. Generasi muda merupakan segmen masyarakat yang diharapkan bisa membawa angin perubahan di masa mendatang.Wilayah Timur Indonesia apalagi Papua mempunyai karakteristik cuaca, musim dan iklim (cusiklim) yang unik sehingga pemahaman masyarakat harus ditingkatkan. Hal ini juga berarti bahwa pembangunan infrastruktur terkait cusiklim ini juga harus banyak dibangun di sana. Bandara di Papua yang berjumlah 220 buah harus diberdayakan agar mampu mengangkat harkat hidup dan kesejahteraan masyarakat wilayah NKRI tsb karena transportasi udara merupakan salah satu sektor paling penting dalam menunjang kehidupan sehari-hari. Pembangunan radar, stasiun bumi untuk satelit, automatic weather station, dan berbagai sarana IT harus terus menerus dipacu dan dipercepat agar masyarakat Papua merasakan benar-benar sebagai WNI yang mempunyai hak yang sama dengan WNI di tempat lain khususnya di Jawa. Perasaan sebagai WNI yang dianaktirikan seperti yang selama ini dikeluhkan, semoga sedikit demi sedikit terkikis bila pembangunan di Papua berhasil dan dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat di sana. Tak lupa juga kualitas SDM harus terus menerus ditingkatkan agar tidak terpaut jauh dengan saudara-saudaranya di pulau Jawa.
Berikut ini adalah foto-foto kegiatan ceramah interaktif tentang cusiklim untuk generasi muda yang dilaksanakan di Bandung untuk menumbuhkan kecintaan dan perhatian terhadap cusiklim dimana bisa dimanfaatkan untuk tujuan penerbangan dll.


Peran cuaca dan musim pada dunia penerbangan sebagian sudah ditulis pada website ini. Nantikan tulisan berikutnya ya. Salam hangat penuh semangat.