Beberapa waktu terakhir ini media
massa baik cetak maupun elektronik serta medsos banyak memberitakan tentang kekeringan
yang melanda beberapa wilayah di tanah air dari ujung barat sampai ujung timur.
Keluhan warga di beberapa kabupaten ditanggapi dengan sigap namun di beberapa
kabupaten yang lain seolah-olah masyarakat dibiarkan sendiri untuk mengatasi
kesulitan hidupnya tersebut. Sebenarnya terdapat 3 jenis kekeringan yakni
kekeringan meteorologi, kekeringan hidrologi, dan kekeringan pertanian. Ketiga
jenis kekeringan ini saling terkait yang berdampak pada kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Tujuan dari tulisan ini adalah mengulas peluang kejadian kekeringan
di tanah air sampai beberapa bulan ke depan sekaligus memberikan alternatif
solusi mengatasi hal tersebut.
Macam-macam kekeringan
Seperti
telah disebut di atas terdapat tiga jenis kekeringan. Kekeringan meteorologi
adalah kekeringan yang terjadi karena sedikitnya hujan yang sampai ke permukaan
bumi karena awan-awan yang terbentuk tidak menghasilkan tetes air yang
berukuran sebesar tetes hujan. Perlu diingat bahwa tidak semua awan akan
menghasilkan hujan. Awan-awan tertentu saja yang akan menghasilkan hujan
seperti nimbostratus, kumulus dan kumulonimbus. Kekeringan kedua yakni
kekeringan hidrologi adalah kekeringan yang terjadi akibat gangguan pada siklus
hidrologi atau daur air. Dimulai dari penguapan air dari permukaan bumi,
pembentukan awan-awan, pembentukan hujan , proses infiltrasi/peresapan air –
penguapan – limpasan/run off sampai ke penampungan air seperti sungai, danau,
laut dsb kemudian berulang lagi proses di atas. Gangguan pada kedua macam jenis
kekeringan tersebut menghasilkan kekeringan ketiga yakni kekeringan pertanian.
Akibat tidak adanya hujan dalam kurun waktu yang lama sementara proses
penguapan air dari tanah berlangsung terus sehingga terjadi defisit air dalam
tanah menyebabkan tanaman di lahan pertanian tidak akan mampu bertahan.
Produktivitasnya akan menurun dan bahkan dalam kondisi yang ekstrim menyebabkan
tanaman bisa mati. Kondisi ini memicu dampak buruk pada kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat. Dapat dengan mudah dibuktikan bahwa pada saat kekeringan
terjadi, masyarakat akan mengeluarkan uang lebih untuk mencukupi kebutuhan
airnya selain bahwa harga-harga produk pertanian tertentu mengalami
peningkatan. Tingkat inflasi akibat kenaikan harga pangan juga akan
terpengaruh.
Elemen, kendali dan variasi iklim
Elemen iklim terdiri dari temperatur, tekanan, kelembapan,
perawanan, hujan, dan angin. Berbagai faktor fisik dapat menjadi pengontrol/kendali
musim. Faktor tersebut adalah radiasi matahari, letak tekanan tinggi semi
permanen, topografi, distribusi daratan dan lautan, lintang tempat, jarak bumi
– matahari, dan sebagainya. Faktor dari dalam bumi dan luar bumi (astronomi)
seperti telah disebut di atas berinteraksi langsung dan tidak langsung pada
pembentukan musim di muka bumi. Kombinasi berbagai faktor tersebut yang bekerja
pada elemen-elemen iklim akan menghasilkan variasi musim. Gerak semu matahari
dari 23,5o LU sampai 23,5oLS sangat mempengaruhi berbagai
proses fisis dan dinamis cuaca, musim dan iklim di muka bumi. Istilah cuaca,
musim dan iklim lebih banyak dilihat dari panjang waktunya dimana cuaca
waktunya singkat, musim waktunya menengah, dan iklim waktunya panjang.
Sirkulasi
udara yang mempengaruhi pembentukan cuaca, musim dan iklim di Indonesia
terdapat tiga macam yakni sirkulasi Hadley, Walker dan lokal. Ketiga pola sirkulasi ini dikendalikan pula
oleh kondisi monsoon, ENSO dan Dipole Mode. Ketiga sirkulasi ini berinteraksi
sedemikian kompleks dan menghasilkan kondisi musim di Indonesia yang demikian
unik yang tidak dijumpai di wilayah lain di muka bumi ini. Interaksi ini juga
membentuk jenis curah hujan yang berbeda yakni pola monsoonal, ekuatorial dan
lokal atau disebut masing-masing sebagai pola A, B, dan C. Bila curah hujan
bulanan digambarkan dalam satu tahun dari bulan Januari sampai dengan Desember
menyerupai bentuk huruf U maka pola tersebut disebut sebagai pola monsoonal.
Bila menyerupai bentuk M dimana puncak hujan terjadi pada sekitar bulan April
dan Oktober maka disebut pola ekuatorial sedangkan bila bentuknya menyerupai
huruf U terbalik maka disebut pola lokal. Oleh karena itu maka tidak perlu
heran mengapa di daerah X terjadi kekeringan namun di daerah Y mengalami
kebanjiran pada waktu yang tidak terpaut jauh. Tipe monsoonal meliputi sebagian
Sumatera, seluruh Jawa sampai Nusa Tenggara Timur, selatan Kalimantan, sebagian
Sulawesi, dan Papua bagian tengah. Tipe ekuatorial membentang di sekitar
wilayah ekuator dan tipe lokal dijumpai di sebagian kecil Sulawesi, sebagian
Maluku dan kepala burung Papua.
Variasi musim saat ini bisa
dilihat dari kondisi atmosfer dan suhu
permukaan laut di perairan Indonesia dan sekitarnya. Indeks AUSMI (Australian
Monsoon Index) menunjukkan nilai negatif sehingga bisa diperkirakan bahwa
monsoon Australia sedang berlangsung yang menunjukkan kecil kemungkinan musim
hujan terjadi. Bisa dipahami mengingat massa udara dari Australia ini tidak
banyak membawa uap air yang mengakibatkan peluang pembentukan perawanan hujan berkurang.
El Nino yang di wilayah kita
sering diartikan sebagai atau identik dengan kekeringan nampaknya masih enggan
muncul menonjol ke permukaan. Wilayah yang biasanya digunakan sebagai patokan
untuk menentukan indeks El Nino adalah wilayah Nino 3.4 yang kurang lebih
sempit yang dibatasi dengan 5o LU – 5o LS yang membujur
sekitar ekuator di tengah-tengah samudra Pasifik. Anomali suhu permukaan laut
per tanggal 18 September 2017 memperlihatkan bahwa wilayah Nino 3.4 berada
dalam jangkauan anomali -0,5oC dan 0,5oC yang berarti normal. Perairan
Indonesia dan sekitarnya relatif hangat namun terlihat bahwa di bagian Tenggara
Indonesia, Utara Australia anomali suhu permukaan lautnya negatif. Ini berarti
wilayah yang disebut terakhir ini suhu permukaan lautnya lebih rendah dari
biasanya yang berpeluang menghambat pembentukan perawanan konvektif.
Prediksi ENSO (El Nino and Southern Oscillation)
oleh lembaga CPC/IRI AS sampai dengan
bulan April 2018 memperlihatkan bahwa peluang kondisi normal terjadi 5-20%
lebih besar dibanding kemungkinan terjadi El Nino. Sementara itu peluang La
Nina tertinggi hanya mencapai belasan persen. Ini berarti sebenarnya kondisi
mendatang kemungkinan biasa-biasa saja. Secara klimatologis peluang normal dari
bulan Juni menurun sampai bulan Desember dan kemudian naik kembali sampai bulan
April. Sementara itu peluang El Nino dan La Nina hampir sama yakni menguat dari
bulan Juli dan mencapai puncaknya sekitar bulan Januari yang kemudian turun
kembali sampai bulan Maret. Kondisi ENSO neutral atau kondisi normal musim di
Indonesia ditunjukkan oleh anomali suhu permukaan laut di wilayah Nino 3.4
antara -0,5oC dan 0,5oC.
Faktor besar ketiga yang penting
untuk dipantau keberadaannya adalah suhu permukaan laut di samudra Hindia
ekuator bagian barat dan timur yakni pantai timur Afrika dan pantai barat
Sumatera Indonesia. Suatu indeks yang dinamakan Indeks Dipole Mode (IODM)
digunakan untuk menggambarkan kondisi tersebut. Bila IODM tersebut positif maka
berdampak pada wilayah bagian Barat Indonesia yang cenderung kering daripada
biasanya. Bila bernilai negatif maka wilayah Indonesia tersebut lebih banyak
hujan. Bila bernilai antara -0,4 sampai 0,4 maka berarti normal. Dari prediksi
yang dilakukan oleh 6 badan dunia 80% nya menunjukkan nilai IODM yang
netral/normal sedangkan dua lainnya yakni badan meteorologi Kanada dan Inggris
meramalkan nilai yang positif. Ini berarti bahwa rata-rata badan meteorologi
dunia mengatakan bahwa kondisi saat ini adalah normal.
Secara numerik, IRI juga meramal peluang terjadinya
presipitasi global. Salah satu bentuk presipitasi adalah curah hujan. Peluang
curah hujan yang berlangsung pada bulan September-Oktober-November 2017 untuk
wilayah Indonesia dapat disampaikan sebagai berikut. Wilayah Indonesia
berpeluang 40-50% hujan di atas normal. Ini berarti bahwa peluang kondisi di
bawah normal sampai normal mendekati 50-60%.
Bila semua ramalan di atas benar maka sebenarnya saat ini
kondisi musim di Indonesia adalah dalam kondisi batas-batas kisaran normal. Yang
menarik adalah mengapa pada saat kondisi “normal” justru saat ini sebagian
wilayah mengalami kekeringan?? Bisa dipahami bahwa wilayah-wilayah yang
mengalami pola curah hujan monsoon lah yang banyak terdampak oleh kurangnya
hujan. Ini mengingat puncak tidak terjadinya hujan berlangsung pada bulan
Juni-Juli-Agustus. Pada wilayah-wilayah dengan pola curah hujan ekutorial dan
lokal, hal ini tidak menjadi masalah besar karena puncak curah hujan bulanannya
berbeda dengan tipe monsoonal. Jadi adalah wajar bahwa masyarakat yang
teriak-teriak kekurangan air adalah masyarakat di pulau Jawa, Madura, Nusa
Tenggara dan berbagai daerah yang terletak di selatan ekuator.
Keseimbangan/neraca air terganggu akibat kurangnya hujan selama beberapa waktu.
Penguapan dari tanah yang terus menerus sementara tidak ada asupan hujan
menyebabkan tanah menjadi kering, demikian juga sumber-sumber air akan
berkurang debitnya. Jenis kekeringan seperti disinggung di atas akan terjadi.
Sejumlah langkah bisa dilakukan
untuk mengatasi kekeringan ini, baik yang sifatnya mitigasi maupun adaptasi.
Iklim yang selalu bervariasi dan berubah akibat faktor alam maupun manusia
harus di rem lajunya agar tidak sampai berpengaruh buruk pada manusia.
Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan saudara kandung yang saling
terkait. Langkah-langkah mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim ini
dapat dijumpai di jutaan website, dari sifatnya yang individual sampai level
kebijakan pemerintah suatu negara. Kerjasama internasional dibutuhkan untuk
maksud tersebut.
Mengingat jumlah air di bumi tetap
namun mungkin berubah-ubah wilayahnya dimana mungkin sebelumnya wilayahnya
kurang hujan/kering namun sekarang menjadi banyak hujan/basah atau sebaliknya.
Kerusakan lingkungan yang memicu terganggunya siklus air harus diperbaiki. Ini
bisa tataran lokal sampai global. Dalam jangka pendek gerakan hemat air harus
disosialisasikan. Wilayah pabrik atau pemukiman yang biasa hambur air agar
dipaksa untuk berhemat air. Kepedulian sosial harus dibudidayakan. Instansi
terkait melakukan manajemen air yang lebih baik agar surplus dan defisit air
bisa dikendalikan. Ketika musim hujan, air disimpan dan pada saat musim kemarau
dihemat. Dalam jangka panjang harus mendidik masyarakat untuk mencintai
lingkungannya karena sekecil apapun yang manusia lakukan, dalam jangka panjang bisa
ada imbasnya ke diri manusia di tempat dia atau di lain tempat di muka bumi.
Tidak lupa juga agar masyarakat
mendapatkan informasi yang baik terhadap kemungkinan gangguan cuaca, musim, dan
iklim yang ekstrim maka early warning
system harus dibangun. Salah satunya melalui peningkatan kemampuan prediksi
yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti PT (misal ITB), LAPAN, BMKG,
dan lembaga penelitian negeri dan swasta.
Alam mempunyai mekanisme sendiri yang sifatnya random dan sulit untuk
diprediksi dengan model numerik secanggih apapun. Model numerik saat ini
ditambah dengan analisis baru mampu memprediksi dengan ketepatan 80% untuk
wilayah kita (klaim BMKG). Itu adalah rata-rata kasar untuk wilayah kita; tentu
ada ketepatan prediksinya yang lebih tinggi dan adapula yang lebih rendah. Dengan
teknik downscaling, penggunaan model
global juga belum mampu menjawab dengan sangat memuaskan keinginan untuk
mendapatkan peramalan presisi. Selalu
ada fuzzy dalam fakta tersebut. Teori
dan observasi juga belum mampu menghasilkan model peramalan cuaca, musim dan
iklim yang presisi 100%. Berbagai teknologi canggih sudah, sedang dan akan
terus digunakan dalam memahami perilaku alam. Teknologi penginderaan jarak jauh
makin pesat perkembangannya dan mampu mengcover bumi 24 jam sehari. Dengan
demikian makin banyak data dan informasi bisa dihasilkan darinya sehingga makin
meningkatkan mutu model prediksi dan memperbaiki teori yang sudah ada.
No comments:
Post a Comment